PANGANDARAN TODAY – Komite Solidaritas Profesi, sebuah perkumpulan yang terdiri dari para dokter, secara resmi melaporkan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan (Dirjen Yankes), dr. Azhar Jaya, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, terkait kasus kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip). Laporan ini disampaikan ke Bareskrim Polri pada Rabu, 11 September 2024.
Dalam laporan tersebut, perwakilan Komite Solidaritas Profesi, M Nasser, menyebut bahwa kedua pejabat dilaporkan atas dugaan penyebaran berita bohong. Mereka dianggap melanggar Pasal 45A UU ITE karena pernyataan yang dinilai menyesatkan terkait penyebab kematian mahasiswi tersebut.
“Kami datang ke Bareskrim hari ini untuk melaporkan pejabat Kementerian Kesehatan atas dugaan penyebaran berita bohong yang telah menyebabkan keonaran,” kata Nasser dalam konferensi pers di Jakarta.
Nasser mengungkapkan kekecewaannya terhadap pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat Kementerian Kesehatan. Ia menyayangkan bahwa seorang menteri yang memiliki kedudukan tinggi justru menyebarkan informasi yang tidak benar. Hal ini dianggap menurunkan kualitas pejabat publik yang seharusnya lebih berhati-hati dalam memberikan informasi.
“Kami menyesalkan tindakan pejabat tersebut. Hoax yang mereka sebar telah menyebabkan keresahan. Ini bukan hanya soal kebenaran, tetapi juga tentang integritas pejabat publik,” tambah Nasser.
Salah satu poin yang menjadi perhatian utama adalah pernyataan pejabat Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa kematian mahasiswi tersebut disebabkan oleh bunuh diri. Menurut Nasser, pernyataan tersebut seharusnya menjadi kewenangan pihak kepolisian, bukan Kementerian Kesehatan.
“Bunuh diri adalah kasus kematian yang tidak wajar dan merupakan wewenang kepolisian. Pejabat Kementerian Kesehatan tidak memiliki kapasitas untuk menyimpulkan hal ini,” ujar Nasser tegas.
Nasser juga menyoroti dugaan bahwa bunuh diri tersebut terjadi karena korban mengalami bullying. Ia mempertanyakan keabsahan klaim tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa korban, yang sudah berada di semester 5, menjadi korban perundungan.
“Bagaimana mungkin seorang mahasiswi di semester 5 menjadi korban bullying? Klaim ini tidak masuk akal dan hanya menambah spekulasi yang tidak berdasar,” jelasnya.
Selain itu, Komite Solidaritas Profesi juga menanggapi isu pemalakan yang disebut-sebut melibatkan korban dalam kapasitasnya sebagai bendahara. Menurut Nasser, tuduhan bahwa korban meminta uang dalam jumlah besar dari rekan-rekannya juga merupakan informasi yang keliru.
“Tuduhan bahwa ada pemalakan 20-40 juta rupiah sama sekali tidak benar. Korban memang bertugas sebagai bendahara yang mengumpulkan dana dari teman-temannya, namun dana tersebut digunakan untuk keperluan kelompok selama ia menjabat sebagai bendahara. Tidak ada indikasi penyalahgunaan dana,” terang Nasser.
Meski laporan telah diajukan ke Bareskrim, penyidik memberikan saran agar terlebih dahulu dilakukan mediasi antara pelapor dan pihak yang dilaporkan. Proses mediasi ini bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan secara damai sebelum kasus dilanjutkan ke proses hukum lebih lanjut.
“Penyidik menyarankan kami untuk mediasi dengan pejabat Kementerian Kesehatan sebelum melanjutkan laporan. Kami akan mempertimbangkan langkah ini dan memutuskan langkah selanjutnya,” kata Nasser, sebagaimana dilansir dari PMJNews.
Dalam kesempatan tersebut, Komite Solidaritas Profesi juga telah menyerahkan sejumlah dokumen dan barang bukti terkait kasus ini. Penyidik menyatakan bahwa dokumen tersebut akan dipelajari lebih lanjut sebelum mengambil tindakan berikutnya.
“Semua dokumen dan bukti telah kami serahkan. Sekarang kami menunggu langkah dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti kasus ini. Kami berharap semua pihak dapat mencapai kesepakatan yang adil,” tutupnya.
Laporan ini menyoroti pentingnya akurasi informasi yang disampaikan oleh pejabat publik, terutama terkait kasus yang sensitif seperti kematian seseorang. Dugaan penyebaran berita bohong dan klaim yang tidak berdasar dapat merusak reputasi lembaga dan menciptakan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu, mediasi dianggap sebagai langkah yang bijak untuk menyelesaikan konflik ini sebelum melangkah ke jalur hukum yang lebih formal.***